BPKAD MUARO JAMBI

Faktahitam.com-

Negara Hukum yang Terlalu Nyaman dengan Kekuasaan. Oleh Agus Mahasiswa Fakultas Syariah UIN STS Jambi


 Faktahitam.com-Negara Hukum yang Terlalu Nyaman dengan Kekuasaan. Oleh Agus Mahasiswa Fakultas Syariah UIN STS Jambi

Indonesia sering menyebut dirinya negara hukum. Kalimat itu tertulis tegas dalam konstitusi dan kerap diulang dalam pidato resmi. Namun, di balik pengakuan tersebut, praktik ketatanegaraan kita justru menunjukkan kecenderungan yang berlawanan: hukum semakin nyaman berada di bawah bayang-bayang kekuasaan.


Dalam beberapa tahun terakhir, hukum konstitusi sering diposisikan sebagai alat penyesuaian politik, bukan sebagai pagar pembatasnya. Aturan yang menyangkut jabatan, kewenangan, hingga mekanisme demokrasi dapat berubah cepat ketika kepentingan elite menghendaki. Sebaliknya, ketika masyarakat menuntut perlindungan hak atau keadilan, proses hukum terasa lambat dan berbelit.


Fenomena ini memperlihatkan masalah mendasar: konstitusi diperlakukan sebagai teks yang fleksibel bagi penguasa, tetapi kaku bagi rakyat. Tafsir hukum bergerak longgar ke atas, namun mengeras ke bawah. Akibatnya, kesetaraan di hadapan hukum yang dijanjikan konstitusi semakin sulit dirasakan dalam kehidupan nyata.


Peran lembaga-lembaga negara yang seharusnya saling mengawasi juga patut dipertanyakan. Relasi antara Presiden dan DPR sering kali lebih menyerupai kerja sama politik daripada hubungan pengawasan. Fungsi kontrol berjalan setengah hati, sementara proses legislasi berlangsung cepat tanpa ruang dialog publik yang memadai. Dalam kondisi seperti ini, checks and balances kehilangan daya gigitnya.


Mahkamah Konstitusi berada di posisi yang tidak kalah penting. MK seharusnya menjadi tempat terakhir bagi warga negara mencari keadilan konstitusional. Namun, ketika putusan-putusan MK memicu polemik dan menimbulkan kesan keberpihakan, kepercayaan publik terhadap konstitusi ikut melemah. Tanpa kepercayaan, konstitusi hanya akan menjadi simbol, bukan pedoman.


Dampak dari semua ini paling terasa pada hak-hak warga negara. Kebebasan berpendapat, kepastian hukum, dan partisipasi publik kerap terpinggirkan oleh dalih stabilitas dan kepentingan nasional. Padahal, konstitusi justru dirancang untuk melindungi hak-hak tersebut, terutama ketika kekuasaan berada dalam posisi dominan.


Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menambah aturan atau merevisi undang-undang. Yang lebih mendesak adalah membangun kesadaran bahwa kekuasaan harus dibatasi, bukan dimanjakan. Tanpa sikap tersebut, hukum akan terus mengikuti arah kekuasaan, bukan mengarahkannya.


Pada akhirnya, negara hukum bukan ditentukan oleh banyaknya peraturan, tetapi oleh keberanian untuk menegakkan batas. Konstitusi akan bermakna jika ia mampu berkata “tidak” kepada kekuasaan yang melampaui batas. Tanpa itu, negara hukum hanya menjadi slogan yang terdengar indah, tetapi kosong di dalamnya.

Redaksi 

Terkini